KERANGKA SERMON EVANGELIUM MINGGU 1 November 2015
MINGGU XXII SETELAH TRINITATIS
Ev : Amsal 23 : 15 – 26 Ep : Ibrani 9 : 11 – 14
“Tujukanlah
Hatimu Ke Jalan Yang Benar”
I.
Pendahuluan
Alkitab mencatat bahwa Allah mengatakan Salomo akan
menjadi orang paling berhikmat di dunia ini (1 Raj. 3:12). Meskipun dalam
prakteknya Salomo mengalami banyak kegagalan dalam menggunakan hikmatnya
sendiri, namun nasihat-nasihat yang dituliskannya pada sebahagian besar kitab
Amsal ini memberi banyak sekali pelajaran bagi setiap orang bagaimana kita
menjalani hidup. Kitab Amsal ini memberi banyak saran dan nasihat untuk cara
hidup yang efektif. Kitab Amsal berfokus pada Allah (karakter, karya dan
berkat-Nya) kemudian memberitahukan serta mengajak kita untuk bisa hidup di dalam
hubungan yang akrab dengan-Nya. Salomo sebagai raja ketiga di Israel mendapat
mimpi yang sangat luar biasa, di mana dia bertemu dengan Tuhan. Tidak hanya
itu, Tuhan bahkan menawarkan kepadanya akan apa yang dia ingini Tuhan beri
kepadanya. Kesempatan itu tidak dimanfaatkan untuk meminta hal-hal yang
sifatnya memenuhi kesenangan, seperti harta, umur, kehormatan dll. Dia malah
meminta “hati yang faham” agar
dia faham menimbang perkara untuk
menghakimi umat Tuhan dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat
(1 Raj. 3:9). Maka tujuan dari Amsal pada umumnya adalah untuk mengajar manusia
bagaimana memperoleh hikmat, disiplin dan kehidupan yang bijaksana dan
bagaimana melakukan hidup yang benar, adil dan jujur. Amsal ini juga dapat
menjadi petunjuk moral bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan
sehari-harinya. Dasar dari semua hikmat itu adalah takut akan Tuhan (Am.
1:7)
II.
Penjelasan Nats dan
Refleksinya
1.
(Ay. 15 – 18)
Sebagaimana dalam pendahuluan di atas disebutkan bahwa Amsal merupakan
nasihat, maka ayat 15 diawali dengan perkataan “hai anakku”. Seperti seorang bapak memberi nasihat sekaligus
motivasi untuk anaknya dengan mengatakan “jika
hatimu bijak, hatiku juga bersukacita.” Benar adanya bahwa seorang bapak
akan merasa bersukacita jika anaknya memiliki hati yang bijaksana. Penulis
tidak mengatakan bahwa ia bersukacita jika anaknya pintar, cantik/ tampan,
kaya, dsb. Karena tidak semua orang pintar, cantik/ tampan, kaya, dsb memiliki
hati yang bijak. Tanpa kebijaksanaan, semua itu bisa menimbulkan kesombongan
dan berujung pada kesia-siaan. Sukacita dari orangtua itu menjadi sebuah tanda
rasa puas karena anaknya mendengar didikannya dan teladan yang ia tunjukkan
kepada anaknya. Setiap orangtua juga mendambakan anaknya untuk hidup jujur,
jujur tidak hanya ketika bersama-sama dengan orangtuanya, namun jujur dalam
segala hal. Seorang anak yang jujur pasti juga akan mendatangkan sukacita bagi
orangtuanya. Namun seorang anak yang jujurpun tidak terlepas dari bagaimana
seorang orangtua membentuk anaknya memiliki pola hidup yang jujur. Kembali
orangtua menjadi teladan terdekat baginya untuk menjadikannya anak yang selalu
menyatakan apa yang benar. Nats ini menerangkan kepada kita bagaimana peran
orangtua dalam membentuk anaknya menjadi anak yang benar. Bahkan penulis dalam ayat 13-14 mengatakan bahwa ketika si anak tidak menerima
didikan, ada baiknya sang anak ditegur lebih keras demi kebaikan mereka dan
tetap dengan dasar kasih sayang. Dengan menegur seorang anak yang melakukan
kesalahan, dia tidak akan mati malah dia akan memiliki kesadaran untuk tidak
mengulang kesalahan yang sama. Namun orangtua yang terlalu menjaga perasaan
anaknya sehingga mentoleransi kesalahannya malah ia sedang mengijinkan anaknya
berjalan menuju dunia orang mati/ jurang maut.
Penulis juga memberi motivasi kepada kita bagaimana kita harus senantiasa
bersyukur atas apa yang kita miliki, bukan malah iri hati kepada orang-orang
yang hidupnya mapan secara jasmani namun kerdil secara rohani. Daripada harus
memusingkan kehidupan orang lain, penulis mengajak kita untuk senantiasa takut
akan Tuhan dalam segala situasi hidup kita. Hal ini menjawab berbagai perkataan
kita yang sering mengeluh ketika kita melihat bahwa kehidupan orang yang tidak
mengenal Tuhan lebih mapan dari kita yang senantiasa lebih dekat dengan Tuhan.
Kita diajar untuk melihat berkat itu tidak hanya dari segi materinya saja, tapi
melihat bagaimana hidup kita tetap Tuhan pelihara meskipun kita mengalami
banyak kekurangan atau kesulitan. Manusia tidak pernah tahu bagaimana rancangan
Tuhan itu bagi dirinya. Yang pasti adalah rancangan Tuhan selalu mendatangkan
kebaikan bagi umat-Nya. Untuk itu, jika kita mau percaya pada-Nya, maka masa
depan sungguh ada dan harapan orang percaya tidak akan pernah hilang dan
sia-sia. Sebab Tuhan yang maha pengasih itu punya banyak cara untuk mengubah
hidup orang yang percaya pada-Nya. Bisa saja berkat itu diterima oleh anak cucu
kita nantinya.
2.
(Ay. 19 – 21)
Penulis yang penuh hikmat itu mengajarkan bagaimana harus hidup
bersosial/ bergaul. Sebagai anak Tuhan, kita dituntut punya prinsip yang jelas
dalam bergaul dan berbaur dengan lingkungan. Kita harus tahu jalan yang benar
menurut firman Tuhan dan berjalan di sana. Bergaul dengan setiap orang dari
berbagai latar belakang itu bagus, namun jangan sampai identitas dan jatidiri
kita rusak oleh karena pergaulan. Lingkungan berperan besar membentuk karakter
seseorang. Jika biasa bergabung dengan kumpulan pemabuk dan orang yang suka
hura-hura dan sikap buruk lainnya, maka besar kemungkinan kita bisa
terkontaminasi. Demikian sebaliknya, berada dalam lingkungan yang baik, akan
mempengaruhi kita hidup dalam kebaikan. Untuk itu, penulis perikop ini
menganjurkan agar kita menghindarkan diri untuk bergabung dengan kumpulan
pemabuk dan pelahap daging. Sering sekali minuman dianggap sebagai penenang
pikiran bagi orang yang mengalami stres atau beban berat. Namun sesungguhnya
itu hanya pelarian karena orang yang mabuk akan kehilangan kesadaran sementara
waktu dan ketika dia sadar, masalahnya tidak selesai bahkan mungkin bisa saja
semakin rumit karena belum ditangani. Demikian pelahap daging. Sama halnya
dengan yang kita hadapi saat ini, jika kita makan banyak daging, maka sering
sekali rasa kantuk itu datang menyerang. Dan jika dibiasakan kedua pola hidup yang
demikian, maka kita bisa menjadi orang yang hidupnya penuh dengan kemalasan dan
hanya mengejar kesenangan. Amsal dengan tegas sangat menentang orang pemalas,
bahkan menyuruhnya belajar pada semut, hewan kecil yang tidak pernah berhenti
untuk bekerja keras.
Demikian halnya dengan kita, Paulus mengatakan dalam Efesus 5:15-16, “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup,
janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah
waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat”. Untuk itu kita
diarahkan berjalan di jalan Tuhan. Jalan Tuhan itu adalah jalan penuh bahagia,
maka sesuai dengan topik minggu ini dikatakan “Tujukanlah hatimu ke jalan yang benar”. Tentu jalan yang benar itu
adalah jalan Tuhan yang penuh bahagia. Jalan yang membawa kita kepada
pengharapan pasti di dalam nama-Nya. Itulah mengapa kita dituntut menjadi orang
yang bijak, karena orang bijak akan membuat pertimbangan yang matang dalam
mengambil sebuah keputusan, termasuk keputusan kemana dia harus melangkahkan
kakinya dan arah hidupnya.
3.
(Ay. 22 – 26)
“Dengarlah ayahmu”….
Janganlah menghina ibumu kalau sudah tua”, ucapan ini menjadi
syarat mutlak bagi seorang anak. Tentu saja raja Salomo telah terlebih dahulu
melakukan hal ini kepada orangtuanya. Ayat ini menjadi sebuah penerapan dari
hukum taurat kelima tentang bagaimana kita barsikap terhadap orangtua. Saat ini
tidak sedikit kasus yang kita dengar bahwa seorang anak menempatkan orangtuanya
di panti jompo karena sudah tua atau karena sakit-sakitan. Sebuah lirik lagu
batak mengatakan, “nunga matua au, jala
sitogutoguon i. Pasabar ma amang, pasabar ma inang, laho pature-ture au. So
marlapatan nauli na denggan patupaonmu molo dung mate au. Uju dingolungkon ma
nian tupa ma bahen angka nadenggan asa tarida sasude holongni rohami
marnatua-tuai”. Air mata penyesalan orang yang tidak mendengarkan perkataan
ayahnya dan yang tidak mengasihi ibunya sama sekali tidak diperlukan saat
mereka telah tiada.
Kebenaran, hikmat,
didikan dan pengertian sangatlah mahal harganya. Untuk itu penulis kitab ini
mengajak kita untuk membelinya meskipun mahal. Membeli bukan berarti
menggunakan uang. Membeli berarti ada yang harus kita korbankan. Untuk
berhikmat, kita harus mengorbankan ego, iri hati, kebencian, kemalasan dan
segala kejahatan yang ada dalam diri kita. Mustahil orang yang egois,
pendendam, pemalas dapat berhikmat, kecuali dia mau membayar hikmat itu dengan
membuang sifat buruknya itu.
Orang yang mengasihi
oragtuanya, hidup dalam hikmat dari Tuhan akan mendatangkan sukacita bagi
orangtuanya, bahkan sekelilingnya. Terutama menjadi anak kesukaan bagi Tuhan.
Maka dengan demikian, sebagai umat Tuhan, yang sudah menjadi orangtua, jadilah
orangtua berhikmat di dalam keluarga. Kemudian, ajarkanlah hikmat itu kepada
anak-anak bapak/ibu dan tentu saja bawa mereka dalam doa agar hikmat yang
bapak/ibu ajarkan tidak menjadi sia-sia. Selalu arahkan mereka dalam menguasai
diri di pergaulannya. Biarlah melalui pengajaran orangtua, anak-anak memiliki
prinsip hidup yang jelas. Biarlah setiap orangtua bersukacita dan beria-ria
karena anaknya hidup dalam kebenaran dan sejalan dengan firman Tuhan. Demikian
halnya dengan seorang anak. Hendaklah setiap anak memberikan dan menujukan
hatinya pada firman Tuhan dan ajaran orangtuanya. Biarlah kesenangannya
berjalan di jalan Tuhan. Jika sudah demikian, maka tidak sulit lagi bagi kita
untuk menemukan anak yang benar-benar hidup seturut dengan hikmat yang
bersumber dari Tuhan. Kiranya Tuhan menuntun setiap umatNya untuk berjalan di
jalan Tuhan yang penuh damai dan sukacita. Dan berbahagialah orang yang
kesenangannya adalah berjalan di jalan Tuhan itu. Kasih setia Tuhan menjadi
bahagian hidup kita sekalian. Amin.
Pdt. Polma Hutasoit, S.Th