Kamis, 30 Juli 2015

Lukas 10 : 25 – 37, "Menjadi Sesama Manusia"

KERANGKA  SERMON EVANGELIUM MINGGU 28 JULI 2013
MINGGU IX SETELAH TRINITATIS (Ketritunggalan Allah/ Hasitolusadaon ni TUHAN)
Menjadi Sesama Manusia
Ev : Lukas 10 : 25 – 37                                 Ep : Imamat 19 : 9 – 18

I.                Pendahuluan
Hidup di tengah-tengah masyarakat yang eksklusif seperti orang Yahudi merupakan tantangan tersendiri bagi Yesus dalam  pelayanan-Nya. Tantangan itu hadir dari berbagai pihak. Bahkan Yesus juga harus berhadapan dengan tokoh-tokoh agama yang seharusnya menjadi rekan sekerja dan sepelayanan Yesus. Tidak jarang para tokoh agama itu datang kepada Yesus bukan karena mereka ingin bertanya bagaimana mengembangkan Kerajaan Allah di bumi ini, namun justru mereka senantiasa berusaha mencari celah untuk menjatuhkan atau mencelakai Yesus. Dalam perikop kali ini, seorang ahli Taurat malah datang kepada Yesus hanya untuk mencobai Yesus. Namun Yesus yang Mahakasih senantiasa menunjukkan kasih-Nya dalam berinteraksi dengan siapapun dan berusaha memberi penjelasan yang sederhana namun penuh makna yang mudah untuk dipahami.

II.             Penjelasan Nats
Ø  Perintah Untuk Mengasihi (Ay. 25 – 28)
Dalam perjalanan menuju ke Yerusalem, seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal. Ahli Taurat ini tentu saja tidak menanyakan sesuatu yang tidak diketahuinya, namun ia ingin mencobai Yesus dan mendengar penjelasan-Nya. Dia menyebut Yesus sebagai "guru," salah satu sebutan untuk mereka yang memiliki otoritas dalam hal keagamaan. Dia mengharapkan Yesus memberikan jawaban untuk pertanyaan yang sudah sering ditanyakan. Terampil dan sekaligus lembut, Yesus memulai penjelasannya dengan sebuah pertanyaan, "Apa yang tertulis dalam Hukum Taurat?" (ay. 26). Secara tak langsung Yesus bertanya, "Apa yang kau ketahui atau mengerti dari Hukum Taurat tentang hal itu?" Menjawab ini, si ahli Taurat mengutip Ulangan 6:5 dan menghubungkannya dengan Imamat 19:18. Kedua perintah dalam ayat-ayat itu ("Kasihilah Tuhan Allahmu" dan "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri") dihubungkan dengan kata kunci kasih. Dari jawabannya, tampak bahwa sebenarnya “secara teori” si ahli Taurat ini sudah mengetahui jawaban pertanyaannya. Dan, Yesus memang membenarkan jawabannya, “Jawabmu itu benar” (Luk 10:28). Akan tetapi, Yesus tidak berhenti sampai di situ, Ia melanjutkan, “perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup". Perkataan Yesus ini sekaligus mengingatkan kita bahwa mengetahui teori untuk mengasihi saja tidak cukup, namun harus dilakukan. Kita sering “seperti si ahli Taurat” ini yang secara teori mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, namun tidak melakukannya. Di sini Yesus menegaskan bahwa untuk memperoleh hidup kekal (keselamatan) tidak cukup jika kita hanya mengerti kehendak Tuhan, mengerti Hukum Taurat, mengerti firman Tuhan  dan mengerti cara mengasihi, namun yang paling penting adalah bagaimana melakukan dan mewujudkannya. Kita harus menjadi pelaksana Sabda Tuhan, bukan hanya pendengar atau perenung-Nya. Janji Yesus bagi orang yang mau menunjukkan identitasnya, yaitu mengasihi adalah “beroleh hidup”. Sudah barang tentu hidup yang dimaksud Yesus bukanlah hidup di bumi, namun lebih mengarah kepada hidup yang kekal dalam kerajaan Allah.

Ø  Siapakah Sesamaku ?
Orang Yahudi adalah bangsa yang eksklusif (tertutup). Mereka memahami bahwa yang dianggap sebagai sesama manusia adalah mereka yang juga bangsa/ agama Yahudi dan hanya yang sebangsa dan seagamalah yang layak untuk dikasihi. Mereka mengimani bahwa bangsa di luar mereka adalah kafir dan tidak layak di hadapan Allah, sehingga mereka juga tidak layak dikasihi dan dianggap sebagai sesama manusia. Si ahli Taurat mungkin berharap, sebagai seorang Yahudi, Yesus juga memiliki konsep yang sama tentang pemahaman siapa sesama manusia. Namun pada kesempatan itulah Yesus membongkar paradigma berfikir ahli Taurat tersebut. Seperti biasa ketika Yesus hendak menyampaikan ajaran-Nya, Dia sering memberikan ilustrasi berupa perumpamaan dengan tujuan agar pendengar-Nya dapat memahami dengan mudah maksud perkataan Yesus. Untuk itu, Yesus memberikan perumpamaan tentang 3 orang yang berbeda dalam menunjukkan sikap terhadap sesamanya manusia.
ü  Ada seorang yang turun dari Yerusalem ke Yeriko (kira-kira berjarak 27 km). Pada abad ke-5 SM, jalan ini jarang dilalui orang karena dihuni oleh para perampok dan penyamun. Jalan ini menjadi salah satu jalan padang gurun yang sunyi (Jerusalem 500 m Di atas Permukaan Laut, Yerikho 400 m Di bawah Permukaan Laut) karena senantiasa dihindari orang-orang karena kuatir akan keselamatannya (terkhusus para saudagar atau orang kaya). Pada masa itu, jalan ini disebut juga “jalan merah atau jalan darah”. Laki-laki dalam cerita Yesus ini mengalami sendiri keganasan para perampok itu. Dia dirampok habis-habisan, bahkan dia dipukuli hingga hampir mati.
ü  Tidak lama setelah peristiwa itu seorang IMAM juga turun dari Yerusalem dan melewati jalan itu. Dia melihat laki-laki yang terkulai lemas itu. Dalam benak kita, sebagai seorang imam yang dianggap guru rohani dan teladan harusnya dia menolong atau setidaknya memastikan apakah dia masih hidup atau tidak (Kesensitifan dan kepedulian). Namun ia hanya melihat dan langsung berlalu begitu saja. Mungkin imam itu berfikir bahwa laki-laki itu telah mati. Dalam tradisi Yahudi, haram hukumnya menyentuh mayat. Jadi apabila ia menyentuh mayat, maka dia juga akan menjadi najis selama 7 hari. Dan jika hal itu terjadi maka ia akan kehilangan “hak” dan “kesempatan” untuk memimpin ibadah. Untuk itu, daripada dia kehilangan haknya, maka ia merasa lebih baik melewatinya. Dalam situasi seperti inipun seorang imam masih memikirkan dirinya sendiri.

ü  Tidak lama berselang, seorang LEWI juga melewati tempat dimana laki-laki itu terkapar. Namun, tidak berbeda dengan imam tadi. Dia hanya lewat saja tanpa sedikitpun terbeban untuk melakukan sesuatu kepada orang tersebut. Orang Lewi itu berprinsip keselamatan pribadi lebih utama, sehingga ia buru-buru meninggalkan lokasi itu. Ternyata gerombolan perampok itu juga sering melakukan aksi lain dalam usaha mendapatkan korban. Mereka juga sering berpura-pura terluka untuk memancing orang menolong mereka, dan ketika itu juga mereka melakukan aksi jahatnya. Jadi orang Lewi itu berfikir bahwa laki-laki yang terkapar itu hanya berpura-pura. Dia tidak mau mengambil resiko dengan membahayakan dirinya dan dia lebih mencemaskan keselamatannya, sehingga dia berfikir untuk langsung pergi.
ü  Selang waktu berikutnya, seorang Samaria juga melewati tempat itu. Pada zaman Yesus, kata orang Samaria adalah sebuah kata cacimakian atau ejekan. Orang Yahudi tidak mau bergaul dengan mereka dan mengucilkan mereka (tidak murni lagi sebagai orang Yahudi karena sudah mengalami kawin campur). Namun Yesus banyak mengucapkan kebaikan dan kelebihan orang Samaria. Jadi mereka benar-benar dimarjinalkan dari kelompok Yahudi. Namun dalam perumpamaan Yesus ini, justru orang Samaria, orang yang dianggap hina oleh orang Yahudi yang berbelas kasihan kepada orang yang sekarat itu. Ketika dia menuruni jalan, dia mendapati seorang yang tergeletak tidak berdaya di tepi jalan. Tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu menolongnya.
·         Kasih itu rela berkorban : Orang Samaria itu
v  Membersihkan lukanya, membalutnya dan menyiraminya dengan minyak (mahal) dan anggur.
v  Menaikkan orang tersebut ke atas keledainya
v  Membawanya ke penginapan serta merawatnya.
v  Dia bertanggungjawab penuh atas orang yang “tidak dia kenal” :
§  membiayai semua pengobatan dan perawatannya.
§  berjanji akan datang kembali untuk melihat perkembangan kesehatan orang itu serta melunasi semua biaya pengobatannya.
ü  Berdasarkan cerita Yesus ini, si ahli Taurat mengaku bahwa yang menjadi sesama adalah yang menunjukkan kasih setia kepada setiap orang tanpa melihat siapa dia dan bagaimana latar belakangnya. Maka perintah Yesus, “Pergilah dan perbuatlah demikian”. Misi orang Kristen adalah : “Pergilah dan perbuatlah demikian”.
ü  Mengasihi : identitas orang Kristen. Mengasihi bukan pilihan, tetapi perintah yang harus dilakukan.
ü  Mengasihi sesama berarti mengasihi siapa saja dengan apa adanya bukan ada apanya. kasih itu sifatnya universal, karena Allah sendiri mengasihi dunia ini (universal), bukan hanya sekelompok orang. Dia tidak hanya mengasihi orang-orang tertentu atau agama tertentu.
ü  Mengasihi karena “tergerak hatinya”. Sebenarnya kita juga telah sekarat karena kungkungan dosa, namun karena Allah mengasihi kita, maka tergeraklah hati Tuhan oleh belas kasihan, sehingga Dia menolong dan menyelamatkan hidup kita, serta membayar dan menebus kita sampai tuntas. Dia juga berjanji akan kembali lagi untuk membereskan semuanya dan memastikan kita beroleh keselamatan yang kekal
ü  Memahami hukum Taurat, mengerti firman Tuhan serta beribadah secara seremonial merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang Kristen. Namun jika semua itu tidak diterapkan di dalam kasih, maka sia-sialah semua ibadah kita.
ü  Kasih seperti apa yang hendak kita hidupi? Kasih yang harus kita terapkan dalam hidup kita adalah kasih yang murah hati, mengampuni. Kasih itu rela berkorban bukan tanpa mengorbankan, kasih itu tidak egois, kasih itu tidak mengutamakan keselamatan sendiri, kasih itu peduli, kasih itu bertujuan agar Allah dipermuliakan melalui praktek kasih yang kita hidupi. Untuk itu, kita yang telah mengetahui dan memahami konsep kasih iu, maka marilah kita perbuat demikian dan Yesus berjanji kita akan beroleh hidup. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

C.Pdt. Polma Hutasoit



Tidak ada komentar:

Posting Komentar