Jumat, 31 Juli 2015

Yunus 3 : 10 – 4 : 11, "Allah Mengasihi Semua Bangsa"

KERANGKA SERMON EVANGELIUM MINGGU 21 September 2014
Minggu XIV Setelah Trinitatis (Ketritunggalan ALLAH/ Hasitolusadaan Ni TUHAN)
Ev  :  Yunus 3 : 10 – 4 : 11                Ep  : Filipi 1 : 21 – 30                  S. Patik : Yehezkiel 33 : 11
Allah Mengasihi Semua Bangsa

I.              Pendahuluan
Berbicara mengenai Nabi Yunus, tentu hal pertama yang kita ingat adalah peristiwa Yunus di perut ikan. Dia ditelan ikan setelah dia dibuang dari kapal karena kapal yang ditumpanginya diterjang ombak, sementara dia dianggap menjadi penyebab datangnya badai itu. Namun berkat kuasa Tuhan, Yunus tidak mati dalam perut ikan, malah Tuhan memerintahkan ikan itu untuk memuntahkannya ke darat.  Yunus, yang namanya berarti "merpati", diperkenalkan sebagai putra Amitai (Yun. 1 : 1) dan ia berasal dari Gat-Hefer, tiga sampai lima kilometer utara Nazaret di Galilea.
Kitab ini ditulis dengan tiga tujuan:
1.        Untuk menunjukkan kepada Israel dan bangsa-bangsa lainnya besarnya dan luasnya kasih sayang tindakan Allah yang menyelamatkan melalui pemberitaan pertobatan;
2.        Untuk menunjukkan melalui pengalaman Yunus betapa jauhnya Israel telah jatuh dari panggilan misioner yang semula untuk menjadi terang penebusan bagi orang-orang yang tinggal dalam gelap (Kej. 12 : 1 – 3; Yes. 42 : 6 – 7; Yes. 49 : 6) dan
3.        Untuk memperingatkan Israel yang murtad bahwa Allah dalam kasih dan kemurahan-Nya telah mengutus bukan hanya satu tetapi banyak nabi setia yang menyampaikan berita pertobatan-Nya agar menghindarkan hukuman atas dosa yang tak dapat dielakkan.
Tetapi berbeda dengan Niniwe, Israel sering sekali menolak nabi-nabi Allah dan tawaran-Nya untuk bertobat dan menerima kemurahan-Nya, sehingga mereka menerima akibat dari ketegartengkukan mereka. Perikop ini mengisahkan ketidaksenangan Yunus terhadap pengampunan yang Tuhan berikan kepada Niniwe. Dalam perikop ini juga Allah mengajar Yunus bagaimana kasih Allah kepada umat-Nya.

II.           Penjelasan Nats
1.      Allah Menyesal Atas Malapetaka Yang Dirancang-Nya (ay. 10)
Di perikop sebelumnya dengan jelas telah di tuliskan mengenai pamanggilan dan pengutusan Nabi Yunus oleh Allah untuk memberitakan pertobatan kepada bangsa Niniwe yang terkenal dengan dosa dan kejahatan mereka di hadapan Tuhan. Yunus  berseru: “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan.” Bangsa Niniwe yang jahat itu percaya kepada Allah, sehingga mereka tidak perlu menunggu waktu lama untuk bertobat. Tidak tanggung-tanggung pertobatan yang dilakukan oleh bangsa Niniwe. Raja yang duduk dalam tahta singgasananya serta selalu memakai jubah kebesarannya turun dan menanggalkan jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu meratap memohon pengampunan. Atas perintah raja, semua penduduk Niniwe bahkan sampai ternaknya harus berpuasa dan memakai kain kabung serta meninggalkan kejahatannya dengan harapan siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga mereka tidak binasa (3 : 4 – 9). Melihat kesungguhan bangsa itu yakni berbalik dari perbuatan jahat mereka, Allah menyesal karena telah merancang malapetaka bagi bereka, sehingga Allah membatalkan rencana itu. (Allah) “menyesal” tentu bukan menyesal seperti manusia menyesal. Kata menyesal di sini berarti “berbelas kasihan.” Mengapa Allah berbelas kasihan kepada orang-orang Niniwe? Karena mereka bertobat, dan sebagai hasilnya, mereka berubah dari tidak taat kepada ketaatan. Allah sama sekali konsisten. Allah akan menghukum Niniwe karena kejahatan mereka. Namun Niniwe menyesal dan mengubah cara hidup mereka. Sebagai hasilnya Allah berbelas kasihan kepada Niniwe. Manusia menyesal karena menyadari bahwa ada perbuatannya yang salah, sehingga ada usaha untuk memperbaiki. Hal ini lah yang dilakukan oleh bangsa Niniwe dalam perikop ini.

2.      Kemarahan Yunus Kepada Allah Atas Pengampunan Terhadap Niniwe (ay. 1 – 3)
Seorang nabi yang diutus Tuhan tentulah bangga jika mampu menobatkan seseorang atau suatu bangsa menjadi takut akan Tuhan. Namun beda halnya dengan Yunus. Ketika dia tahu bahwa Tuhan tidak jadi menjatuhkan hukuman kepada bangsa Niniwe, dia malah berontak kepada Tuhan. Dia merasa kesal (sangat tidak senang) akan apa yang Tuhan perbuat kepada bangsa itu, sehingga dia sangat marah kepada Tuhan. Kemarahan itu dia ungkapkan dalam doanya. Yunus marah kepada Tuhan karena Tuhan mengampuni bangsa yang terkenal tidak memiliki perikemanusiaan, bangsa yang tidak segan menguliti dan memenggal kepada manusia, dan tentu saja mereka bukanlah bangsa pilihan (Israel). Yunus lebih fokus menyoroti kesalahan dan kejahatan mereka, sementara Allah melihat pertobatan mereka yang tidak hanya sekedar formalitas belaka, namun berdasarkan kesungguhan dan karena takut akan Tuhan. Berbeda dengan bangsa Israel yang sering menolak bahkan tidak segan menganiaya nabi utusan Allah dan yang harus berulang kali diingatkan supaya bertobat, bangsa Niniwe langsung bertobat hanya dengan sekali peringatan. Melihat pengampunan itu, Yunus menunjukkan ketidaksenangannya kepada Tuhan. Kemarahannya sangat memuncak sehingga dia meminta Allah mencabut nyawanya. Dia merasa lebih baik mati daripada hidup melihat bangsa Niniwe lepas dari hukuman. Sungguh kontras dengan doanya ketika dia di dalam perut ikan dalam Pasal 2 ketika dia berharap agar Tuhan berkenan memberinya kesempatan untuk hidup dan bernazar untuk memenuhi panggilannya.
Bagi Yunus, muncul pertentangan antara kasih Allah dengan hakikat keadilan, bahwa orang-orang Niniwe harusnya dihukum walaupun mereka telah bertobat. Dia mengharapkan keadilan Allah, sebab bagaimana mungkin kejahatan mereka yang begitu besarnya dapat diampuni dengan sekejap mata hanya dengan berkabung dan berpuasa. Seharusnya Allah memberikan hukuman yang setimpal atas kejahatan mereka dan barulah Tuhan memberikan keselamatan yang setimpal dengan pertobatannya. Yunus mengharapkan lebih baik ada keringanan hukuman sebab mereka telah bertobat bukan pembatalan hukuman.

3.        Teguran Tuhan Untuk Yunus (ay. 4 – 8)
Melihat amarah Yunus, Allah memberi sebuah pelajaran kepada Yunus untuk mengerti betapa berharganya manusia bagi Allah. Yunus menunggu sampai hari ke – 40 apakah Allah tetap menghukum bangsa Niniwe atau benar-benar membatalkannya. Ia keluar meninggalkan kota itu dan tinggal di sebelah timurnya. Di sana dia mendirikan sebuah pondok tempat pernaungannya sambil memantau keadaan kota itu. Mungkin dia berfikir bahwa jika Allah benar-benar menghukum bangsa itu sama seperti Allah menghukum Sodom dan Gomora, maka dia dapat menyakksikannya secara langsung. Di suatu hari saat Yunus masih dalam penantiannya, Tuhan memberikan sebuah pembelajaran bagi Yunus. Atas penentuan Tuhan, tumbuhlah sebatang pohon jarak yang tumbuh melampui kepala Yunus sehingga bisa menaunginya. Melihat itu, Yunus sangat bercukacita. Untuk pertama kalinya dalam perikop ini Yunus dikatakan sangat bersukacita karena dia bisa terlindungi dari paparan matahari dan dia merasa sejuk. Namun kegembiraannya hanya sesaat, karena selang sehari kemudian atas penetuan Tuhan, ketikan fajar menyingsing datanglah seekor ulat melakukan tugasnya. Dan kehadiran ulat itu mendatangkan kehancuran bagi tanaman itu. Tidak cukup sampai disitu, saat matahari terbit, Allah juga memerintahkan angin timur yang panas terik bertiup, sehingga kepala Yunus yang tidak lagi dinaungi daun pohon jarak itu diterpa oleh sinar matahari dan Yunus merasa kesakitan. Lagi-lagi Yunus mengeluh kepada Tuhan. Bahkan kembali dia berharap agar Tuhan mencabut nyawanya, karena sebentar saja dia menikmati teduhnya pohon pemberian Tuhan, sebentar kemudian Tuhan telah ijinkan pohon itu mati sehingga dia mengalami penderitaan. Dia tetap belum mampu memahami maksud Allah melalui peristiwa itu.

4.        Allah Mengasihi Semua Bangsa (ay. 9 – 11)
Lalu Allah memberi penjelasan kepada Yunus tentang kasih Allah yang universal (bukan hanya kepada bangsanya). Allah berkata, “"Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikit pun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula.” Ketika Yunus lebih sayang kepada tanaman yang tidak ia tanam. Ia begitu menyesali kematian tanaman itu, hanya karena tanaman itu memberi keuntungan padanya berupa kesejukan dan pernaungan. Padahal dia tidak memiliki hubungan nyata dengan tanaman itu. Yunus menyesali kematian tanaman itu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupan dan kematian kekal. Yunus juga tidak hanya kecewa atas kematian tanaman itu, namun juga kecewa karena dirinya ikut menderita karenanya. Dalam hal ini kelihatan keegoisan ada dalam diri Yunus. Sementara Allah berpandangan lain dari Yunus. Allah katakana, “Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” Bagi Tuhan, Niniwe jauh lebih berharga dari tanaman yang tumbuh seketika dan mati seketika itu. Ketika Yunus menginginkan agar kota itu ditunggangbalikkan, Allah justru ingin menyelamatkan bangsa yang jumlahnya lebih dari 120.000 orang itu beserta dengan ternaknya. Tuhan juga lebih sayang terhadap bangsa Niniwe karena mereka adalah ciptaan-Nya, bukan karena bangsa itu memberi keuntungan kepada Allah seperti tanaman itu kepada Yunus. Sama halnya kepada bangsa Israel (bangsanya Yunus). Mereka dikasihi Tuhan bukan karena kelayakan mereka, tapi karena bagi Tuhan mereka berharga sebagai ciptaan. Allah lebih mengasihi dan ingin menyelamatkan bangsa Niniwe karena Allah tidak ingin mereka mengalami kematian yang kekal, namun agar mereka beroleh hidup. Allah juga mengajar Yunus untuk tidak egois, namun juga harus memperhatikan orang lain, sehingga semua orang bisa beroleh keselamatan itu. Sudah sepantasnya Yunus bangga dan bersyukur karena melalui pemberitaannya sebuah bangsa yang jahat dan bengis mau bertobat. Bangsa yang dulunya tidak tahu membedakan mana tangan kiri dan mana tangan kanan (mana yang baik dan yang buruk), kini bertobat dengan sungguh-sungguh di hadapan Tuhan.

III.        Aplikasi
1.        Yehezkiel 33 : 11, “…..Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel”. Nats ini dengan jelas menuliskan perbedaan Allah dengan manusia dalam menunjukkan kasih. Ketika manusia sering mengungkit masa lalu (suram) orang lain demi menunjukkan kebenarannya, Allah justru lebih melihat bagaimana manusia mampu meninggalkan hidup lamanya dan menjalani hidup baru di dalam Tuhan. Sehingga karena belas kasihan, Tuhan membatalkan hukuman yang harus ditanggung karena perbuatanny.
2.        Bersukacitalah ketika karena pemberitaan kita semakin banyak orang yang menerima Kristus dalam hidupnya dan tidak mendapat hukuman karena pertobatannya.
3.        Pertobatan yang dimaksud adalah pertobatan yang lahir dari kesadaran dan iman yang sungguh-sungguh, bukan hanya sebatas pengakuan di mulut dan tampilan luar (kain kabung, puasa dan duduk di tanah abu). Sehingga buahnya terlihat dalam aspek kehidupannya.
4.        Tuhan tidak pernah menutup pengampunan bagi siapa saja yang benar-benar mau meninggalkan dosanya. Namun pertobatan berarti berkomitmen untuk meninggalkan hidup lama, berbalik arah dan berjalan menuju hidup baru di dalam Tuhan. Karena Tuhan mengasihi semua umat-Nya dan Dia ingin semua umat-Nya bersam-sama masuk dan tinggal di rumah-Nya yang penuh sukacita kekal, bukan sukacita sesaat seperti yang dialami Yunus saat Tuhan memberi tanaman pelindung baginya. Kasih dan kemurahan Tuhan bagi kita kiranya juga mampu kita tunjukkan bagi sesama kita. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

C.Pdt. Polma Hutasoit, S.Th

Tidak ada komentar:

Posting Komentar