KERANGKA SERMON
EVANGELIUM MINGGU 9 Februari 2014
MINGGU V SETELAH EPIPHANIAS
Ev : Matius 5 : 13 – 20 Ep : Yesaya 58 : 1 – 9a
Tidak Tawar, Bercahaya
I.
Pendahuluan
Injil Matius diperuntukkan untuk orang-orang Kristen yang
berlatarbelakang Yahudi dan bukan Yahudi yang terlihat dari isi injil akan
keterbukaan terhadap bangsa-bangsa lain yaitu bangsa bukan Yahudi sehingga ini
berarti isi dari injil Matius memiliki sifat yang universal dan ini juga dapat
diperbandingkan dengan Amanat Agung yang ada di dalam pasal 28. Cerita ini merupakan bagian dari
cerita ucapan berbahagia atau khotbah di bukit yang merupakan pengajaran yang dilakukan
Yesus di saat Dia diikuti orang yang berbondong-bondong dan tepat berada di
sebuah dataran yang tinggi. Pengajaran ini merupakan cara yang dilakukan Yesus
dengan memberikan sebuah ilustrasi atau simbol-simbol kepada pendengar dan
simbol-simbol itu adalah sesuatu yang mudah ditemukan di dalam kehidupan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa khotbah Yesus di bukit itu sebenarnya adalah suatu
pengajaran atau barangkali lebih tepat disebut sebagai suatu pemberitaan dalam
bentuk pengajaran.
II.
Penjelasan Nats
Ø Menjadi garam dan terang
dalam dunia (ay. 13 – 16)
Di dalam nats ini terdapat dua simbol yang unik meskipun
itu telah terdapat di dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan Yesus dalam
khotbah-Nya di Bukit tidak berkata: “Jadilah
garam dan terang dunia”,
tetapi: “Kamu adalah garam
dan terang dunia”. Kedua kalimat tersebut tampaknya mirip, tetapi memiliki
pengertian yang sangat berbeda. Pengertian “Jadilah garam dan terang dunia”
menunjuk panggilan agar kita berjuang untuk “menjadi” garam dan terang bagi
dunia ini. Tetapi pengertian “Kamu adalah garam dan terang dunia” lebih
menunjuk kepada suatu identitas diri dan karakter. Setiap umat percaya memiliki
identitas diri dan karakter sebagai garam dan terang bagi dunia ini. Artinya
setiap identitas dan karakter umat yang tidak memiliki “karakter dan fungsi”
sebagai garam dan terang, layaklah ia dibuang dan diijak-injak orang karena tidak berguna lagi.
Dalam nats ini diceritakan bagaimana seharusnya para
pengikut Yesus untuk menjadi garam. Garam biasanya disuling dari Laut Mati dan
dikeringkan, atau ditambang dari batu karang. Dalam khotbah Yesus, garam memiliki arti kata yang
sejajar dengan perbuatan baik. Garam merupakan bahan yang digunakan di dalam berbagai
hal seperti untuk pemupukan tanah. Garam juga menjadikan bahan makanan menjadi awet,
dengan demikian diketahui bahwa banyak sekali keuntungan yang didapatkan dengan
adanya garam. Orang Romawi menganggap garam sebagai benda yang bersih dan
jernih, karena ia berasal dari benda yang juga bersih dan jernih yaitu matahari
dan laut. Garam juga merupakan korban yang disukai dan
berharga dari para dewa.
Dalam Perjanjian Lama garam juga telah
digunakan oleh raja di dalam proses perebuatan Negara, hal ini dapat
diperhatikan dalam Hakim-hakim 9:45 di mana raja Amalekh yang menaburi
tanah yang dimenangkannya dari bangsa lain dan menjadi miliknya sendiri, yang
berarti bahwa garam juga mampu memberikan tanda kepemilikan atau bahkan ini
sebagai penghapusan kepemilikan dari orang yang lama.
Yesus juga mengatakan bahwa para
pengikut-Nya adalah terang. Tanpa terang, kita tidak
dapat melihat dan melakukan aktivitas. Dalam sejarahnya kata terang telah digunakan sebagai simbol di dalam perkembangan
ilmu pengetahuan yang ada di dalam bentuk subjek dan di dalam bentuk objek,
seperti apa yang telah digunakan di dalam masa Plato. Pada zaman sebelum
Platonis penggunaan kata terang merupakan petunjuk akan adanya peristiwa fisika dan
terang digunakan manusia untuk menghadapi malam. Sedangkan pada masa Platonisme
terang telah ditemukan hal yang metafisik dari terang di dalam zaman ini
dietahui bahwa terang merupakan bagian kebenaran dan pengetahuan, terang
dikatakan bukan hanya sebagai dalam bentuk fisik lagi tetapi telah ada
perubahan pemahaman akan terang tersebut.
Kata “baik” yang terdapat dalam ayat 16 ini menyuruh orang yang mendengar perintah ini mampu untuk menunjukkan
hal-hal yang baik kepada orang lain di dalam kehidupannya, dimanapun dia berada
karena dalam teks ini dikatakan bercahaya di depan semua orang. Ada keunikan di
dalam teks ini, karena adanya hubungan timbal balik antara yang menunjukkan dan
melihat, orang yang mampu bersinar akan membuat orang lain mendapat berkat dan
menjadikan orang lain memuji Tuhan dan memuliakanNya karena perlakuan dari yang
menunjukkan atau pengikut Kristus. Jadi terang yang Tuhan Yesus maksudkan
adalah terang yang terus-menerus dan tidak pernah padam. Bukan terang seperti
kembang api, pohon natal atau lilin, namun seperti matahari yang sinarnya tidak
hanya menerangi kegelapan, melainkan memberi rasa hangat dan nyaman bagi
ciptaan Tuhan yang lain, termasuk manusia. Matahari bersinar dengan tidak
memilih-milih siapa yang harus disinarinya.
Ø
Keselamatan ada di Dalam Kristus, melakukan Ajaran-Nya berarti
menghidupi keselamatan itu
Di
Mat. 5:17, Tuhan Yesus berkata: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku
datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan
untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya”. Tidak ada
seorangpun yang mampu memenuhi tuntutan hukum Taurat dengan kekuatan dan
kebajikannya sendiri. Karena itu Kristus datang untuk menggenapi seluruh
tuntutan hukum Taurat tersebut. Dengan demikian menjadi jelas, melalui anugerah
keselamatan Kristus, kita dimampukan untuk menggenapi tuntutan hukum Taurat.
Jadi seharusnya ibadah, puasa atau kewajiban agama dilakukan karena kuasa kasih
Kristus. Makna ibadah dihayati sebagai suatu media mengkomunikasikan kasih Allah kepada
sesama. Melalui ajaran Yesus
ini, menjelaskan bahwa hukum Taurat dijadikan sebagai panduan moral bagi mereka
yang sudah selamat dan yang dengan menaatinya menunjukkan kehidupan Kristus
yang ada di dalam diri mereka (Rom 6:15-22). Iman kepada Kristus merupakan
titik tolak untuk menggenapi hukum Taurat. Yesus dengan tegas mengajarkan bahwa
melakukan kehendak Bapa-Nya di sorga akan tetap
merupakan syarat utama untuk memasuki Kerajaan Sorga.
Di
kitab nabi Yesaya, Allah menegur umat Israel yang setiap hari mencari Allah,
mengenal segala firman-Nya dan rutin berpuasa. Namun motivasi dan praktek keagamaan
tersebut diikuti pula dengan perbuatan-perbuatan mereka yang keji kepada
sesama. Mereka berpuasa, tetapi juga menganiaya orang-orang yang lemah. Itu
sebabnya doa permohonan mereka tidak didengarkan Allah. Walaupun secara
ritual mereka merendahkan diri di hadapan Allah, namun Allah tidak mengindahkan
mereka (Yes. 58:3-4). Sebab yang utama bagi Allah bukanlah tindakan
ibadah saja, tetapi bagaimana suatu ibadah itu memampukan umat untuk
membawa keselamatan dan pembebasan Allah terhadap sesama yang
terbelenggu. Tindakan kasih kepada sesama seharusnya dinyatakan sebagai wujud
dari puasa dan ibadah. Umat Israel pada waktu itu gagal memerankan diri sebagai
garam dan terang dunia sebab mereka tidak
menerapkan kasih Allah dengan benar dalam hidup mereka. Hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan umat percaya. Yang
dikehendaki oleh Kristus, bukanlah kemegahan suatu ritualitas, tetapi apakah
mereka mempraktekkan kasih Allah secara megah, tak terbatas dan tanpa syarat
kepada sesama di sekitarnya.
Ø
Yang ikut dan masuk dalam Kerajaan Sorga adalah dia yang mengetahui
melakukan dan menerapkan Firman Tuhan
Pengajaran Tuhan Yesus tersebut menempatkan realisme diri manusia
secara positif. Namun juga mengungkapkan suatu idealisme. Realisme kekinian
umat yang dinyatakan dalam identitas dan karakternya haruslah ditandai oleh
fungsinya yang konstruktif, dan pada pihak lain memiliki suatu idealisme yang
harus diperjuangkan tanpa kompromi. Karena itu realisme kekinian setiap umat
dengan identitas diri dan karakternya tidak boleh bersifat pasif, tetapi
dinamis. Identitas diri dan karakter umat sebagai garam dan terang harus
melampaui standar penilaian dunia. Tepatnya hidup kerohanian umat percaya tidak
boleh di bawah standar nilai yang berlaku umum dalam masyarakat. Karena
itu Tuhan Yesus berkata: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada
hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu
tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 5:20). Kerohanian
ahli Taurat dan orang Farisi jelas dianggap lebih tinggi dalam masyarakat
Israel waktu itu. Tetapi ternyata standar nilai dan karakter dari Kristus
menuntut suatu spiritualitas yang lebih tinggi dari pada pola spiritualitas
para ahli Taurat dan orang Farisi. Kebenaran
orang Farisi dan ahli Taurat hanya bersifat lahiriah. Mereka menaati banyak
peraturan , berdoa, memuji Tuhan, berpuasa, membaca firman Allah dan menghadiri
kebaktian. Akan tetapi tindakan lahiriah tersebut mereka lakukan tidak diiringi
dengan tindakan batiniah yang benar. Yesus mengatakan bahwa kebenaran yang
dikehendaki Allah dari orang percaya adalah lebih dari itu. Hati dan roh
seseorang bukan sekedar tindakan lahiriah, namun harus selaras dengan kehendak
Allah dalam iman dan kasih (bd. Mark. 7:6)
III.
Aplikasi
ü Orang Kristen mendapat panggilan Tuhan untuk
menjadi garam dan terang dunia untuk menggarami dan menerangi dunia agar
dunia yang didasarkan oleh kasih Allah.Dengan melihat garam dan
terang sebagai dua hal yang sangat penting sekaligus dibutuhkan dalam
kehidupan manusia, maka seharusnya Kristen mau dan memampukan diri untuk
melakukan apa yang diharapkan oleh Kristus. Garam berfungsi untuk memberi rasa
pada makanan atau masakan. Garam dapat menimbulkan rasa sedap, sehingga dapat
juga dikatakan berfungsi sebagai pemberi rasa, dan apabila tidak ada
garam, maka makanan tidak akan memiliki rasa atau akan hambar. “Kamu adalah
garam dunia” mengandung arti bahwa kita harus dapat berfungsi bagi dunia ini
seperti halnya dengan garam yang berfungsi bagi manusia. Kehadiran kita
ditantang untuk dapat menciptakan suasana yang menyenangkan bagi sesama. Sehingga dapat menjadikan suasana
yang hambar menjadi sedap, suasana yang dingin menjadi hangat dan mendatangkan
rasa damai sejahtera serta kasih. Kalau para murid dipanggil untuk menjadi
garam dan terang, berarti para murid juga harus
menjadi orang yang selalu mendatangkan suasana yang penuh berbeda, kehangatan, damai sejahtera dan
kasih. Sebagai
pengikut Kristus adalah menghadirkan pengaruh dan perubahan bagi sekeliling
kita. Pengaruh yang dimaksud tentu untuk menciptakan damai dan kesatuan dalam
Tuhan, bukan memberi pengaruh agar orang lain mendukung kita melakukan
kecurangan dan melakukan tindakan yang tidak menyenangkan hati Tuhan. Jadi
membawa berkat dan sukacita untuk sesama adalah karakter yang sudah seharusnya
mendarah daging bagi kita orang percaya. Yesus menginginkan manusia mampu menjadi berkat kepada sesamanya, atau menjadi berkat di tengah
ciptaanNya dan mempunyai kemampuan mengubah hal yang rusak menjadi baik,
seperti tanah yang disuburkan dengan pemberian garam kepada tanah yang tandus.
ü Firman Tuhan, doa dan ibadah menjadi pondasi iman setiap orang Kristen
dalam membangun kepribadian dan sikap yang benar kepada Allah dan sesama. Mengasihi
Tuhan dan sesama adalah suatu keharusan bagi kita dan melalui perbuatan yang
benar kita menjadi berbeda dari sekeliling kita. Jangan sampai ibadah kita
hanya formalitas dan rutinitas semata tanpa penerapan yang benar, sehingga kita
tidak menjadi Farisi-Farisi dan ahli-ahli Taurat masa kini. Kehadiran kita ditantang untuk
dapat menciptakan suasana yang menyenangkan bagi sesama kita Sehingga dapat menjadikan suasana
yang hambar menjadi sedap, suasana yang dingin menjadi hangat dan mendatangkan
rasa damai sejahtera serta kasih. Kalau para murid dipanggil untuk menjadi
garam, berarti para murid juga harus menjadi orang yang selalu mendatangkan
suasana yang penuh kehangatan, damai sejahtera dan kasih dan hal ini sama
juga tuntutannya terhadap orang Kristen sekarang. Tentu untuk mewujudkan itu, Tuhan harus menjadi andalan kita, maka kita
tidak berusaha sendiri menghadirkan garam dan terang itu, melainkan campur
tangan Tuhanlah yang memampukan kita menghadirkannya. Jadi pahami dan hidupilah
bahwa kita diutus Tuhan bukan untuk “Menjadi
“ Garam dan Terang, namun kita semua “adalah” Garam dan Terang itu. Amin.
C.Pdt. Polma Hutasoit, S.Th
Tidak ada komentar:
Posting Komentar